TRIBUNNEWS.COM-Wakil Ketua Konferensi Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia (MPR RI) Hidayat Nur Wahid mengatakan UU Kepemimpinan Ideologi Pancasila (RUU) yang kontroversial menyebabkan Hal ini telah mengatasi sikap kritis semua sektor masyarakat, bahkan ditolak. Oleh karena itu, Badan Legislatif DPR (Baleg) harus mencermati tanggapan dari berbagai kalangan.
“Dalam pertemuan Baleg, ada yang mengatakan bahwa TAP MPRS no XXV / 1966 tidak menerima Trisila, Ekasila, budaya dan ketuhanan lainnya. Ini UU HIP. Rekam, “kata Hidayat dalam siaran persnya di Jakarta, Senin (15/6). — Baru-baru ini, Partai Demokrat Indonesia selaku penggagas RUU tersebut akhirnya melakukan perubahan dan menyetujui untuk memasukkan TAP MPRS n XXV / 1996. RUU tersebut mempertimbangkan larangan komunisme dan menghapus Pasal 7 Ayat (2) dan (3) kembali mengemukakan istilah Pancasila Trisila, Ekasila, dan Ketuhanan yang bercirikan budaya. –PDI-P mengubah dan menerima TAP MPRS No XXV / 1966 setelah setuju untuk melarang PKI, dan tentang larangan menyebarkan dan mengajarkan komunisme, idedayat mengatakan bahwa Teheran ketika mempertimbangkan RUU HIP bahwa semua demokrat Secara publik sepakat untuk terus menerapkan peraturan perundang-undangan yang melarang PKI, serta melarang penyebaran dan pengajaran komunisme, Marxisme dan Leninisme. — “Setelah PDI Perjuanhan menerima masuknya TAP MPRS noXXV / 1966 dalam pembukaan UU HIP, tidak ada fraksi di DPR yang menolak memasukkan TAP MPRS No. XXV / 1966 ke dalam UU HIP. Namun, publik mengambil keputusan atas UU HIP tersebut. Respon yang sangat tegas dilakukan tidak hanya terhadap permasalahan yang tidak terjadi sejak TAP MPRS pasal XXV / 1966, tetapi juga terhadap penyebutan trisila yang “hilang”. Hidayat menambahkan bahwa permasalahan UU HIP sudah tersebar di beberapa pasal, Artinya, RUU tersebut memiliki pasal 4, 5, 6 dan 8. HNW, DPR RI Baleg harus memperhatikan perolehan suara orang tersebut. Oleh karena itu, meski RUU HIP masih akan dibahas, teks dan naskah akademik tetap perlu menjalani pembenahan mendasar. “Larangan komunisme dan pancasila, yang bukan Trisila atau Yekasila, hendaknya tidak hanya dilampirkan pada Pembukaan, tetapi juga harus benar-benar tercermin dalam tubuh RUU. “Ini sesuai dengan penolakan atau kritik dari Majelis Ulama Indonesia (MUI), purnawirawan TNI / Polri, dan berbagai ormas atau kelompok masyarakat yang menolak RUU tersebut. Bahkan para pensiunan TNI / Porri dan kelompok masyarakat lainnya telah secara terbuka menolak HIP ini. RUU tersebut antara lain karena belum dimasukkan sejak TAP MPRS no XXV / 1966. Ideologi yang bertentangan dengan Pancasila, melancarkan dua pemberontakan terhadap pemerintah Indonesia. Dan menyebut Pancasila Ambiguitas Sila, yang terakhir menjadi Trisila dan Yekasila. Catatan penting lainnya adalah RUU HIP seperti ini menjadikan Pancasila yang sesungguhnya (Pancasila 18 / dalam Pembukaan UUD 1945) 8/1945) diturunkan pangkatnya. Katanya sangat penting untuk mendengarkan dan mempertimbangkan pertimbangan Baleg DPR RI. Wakil Ketua Sidang Syuro Partai Keadilan Sejahtera (SPS) meyakini bahwa ketika FPDIP menjadi pemrakarsa asli RUU tersebut, maka telah lolos penerimaan TAP MPRS XXV Tahun 1966 dan mengusulkan ideologi lain dan menghapus RUU tersebut, yang merubah sikapnya. Mengenai Pasal 7 Trisila dan Yekasila, alasannya adalah naskah akademik dan draf RUU juga harus ditulis ulang secara mendalam dan Amandemen. Karena pertimbangannya telah mengalami perubahan yang mendasar, dan karena banyaknya pertentangan, hal ini akan berdampak pada dasar hukum dan sosiologi, maka sebaiknya Baleg dicabut terlebih dahulu oleh Baleg. Dan jangan terus dibicarakan. Hidayat Mengatakan: “Berdasarkan kebenaran sejarah dan kritik serta saran dari masyarakat, para ahli, dan pensiunan Ormas TNI / Polri. “
Saat Baleg direvisi, HNW menjelaskan dengan memperhatikan kondisi sosial politik dan eksklusi teks akademik masyarakat.k, inilah mengapa para pendukung Baleg juga dapat mempertimbangkan kembali apakah RUU tersebut harus dipaksa untuk melanjutkan diskusi dan persetujuan. Bahkan berhenti saja. Karena tafsir dan arahan ideologi Pancasila telah disepakati dan dimasukkan dalam Pembukaan UUD dan pasal / pasal / ayat UUD 1945. -Hidayat mengenang, jika UU HIP hendak dilaksanakan dan disahkan, ada persoalan konstitusional. “Pancasila adalah standar dasar (basic standard) yang terkandung dalam Pembukaan UUD 1945. Nilai dasarnya bersifat umum, tetapi diakui oleh para founding fathers. Jangan sampai Pancasila merendahkan hukum yang kontroversial seperti ini. Namun, jika ingin menjelaskan lebih jauh, UUD harus diubah dalam UUD 1945 (tidak diatur dalam undang-undang), belum lagi kontroversial seperti UU HIP. “

” Kalau Pancasila Nilai-nilai itu diatur dalam undang-undang khusus seperti “UU HIP”, jadi jika UU itu diuji di Mahkamah Konstitusi (MK) dan ternyata melanggar UUD 1945, apa yang akan terjadi? Ini seolah melompat dari pembukaan Pancasila menjadi Regulasi undang-undang. Inilah sebabnya mengapa orang menolak UU HIP. Kecuali sebagian orang yang menganggapnya melompat dari pembukaan ke undang-undang dengan mengelakkan UUD, UU HIP justru memperparah keresahan masyarakat sampai batas tertentu. Masyarakat di sana. Dan pemerintah sekali lagi direpotkan oleh bencana kesehatan nasional, pneumonia mahkota baru. Dan dampaknya, ”pungkas individu berpenghasilan tinggi itu.
So, what do you think ?