TRIBUNNEWS.COM-Wakil Ketua Dewan Permusyawaratan Rakyat Indonesia Hidayat Nur Wahid yang juga merupakan anggota konstituensi Partai Demokrat Jakarta II DRI RI dan telah mendapat banyak pertanyaan tentang nasib RUU HIP dan BPIP. Isu tersebut disampaikan kepada individu-individu berpenghasilan tinggi pada pertemuan virtual dengan warga dan tokoh masyarakat di Pesanggrahan, Jakarta Selatan pada Minggu (20/7).
Alasan mengapa masalah ini diangkat adalah karena mereka percaya bahwa banyak klausul mengandung ketentuan yang kontroversial, yang telah menimbulkan kekhawatiran di antara banyak orang. Misalnya sikap Parlemen Islam di parlemen yang mengecualikan TAP MPRS XXV / 1966, sehingga melarang Partai Komunis Indonesia (PKI) dianggap sebagai UU HIP. Selain itu, ada pidato yang mengubah UU HIP menjadi UU BPIP.
Warga Dadang Sudarno ingin tahu kenapa hanya FPKS yang merekomendasikan pelarangan PKI TAP MPRS masuk UU HIP. “Kalaupun ada beberapa partai Islam di parlemen, peluang apa ke depan?” Tanya Dadang Sudarno.
Juru bicara lainnya, Nanang, merupakan anggota aktif Badan Pertukaran Pemuda Masjid Indonesia (BKPRMI) dan anggota Organisasi Massa Islam (MOI). Ia mempertanyakan RUU HIP yang ia harapkan bisa diganti dengan RUU BPIP. . Ia mengatakan: “Sebagai masyarakat dan organisasi masyarakat sipil, kami mendapatkan penjelasan yang nyata dari UU HIP hingga UU BPIP.” Hidayat Nur Wahid menjelaskan bahwa sejak awal, Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (FPKS) ingin mengetahui mengapa hal itu digunakan. MPRS TAP. XXV / 1966 tidak termasuk dalam HIP Act. Padahal, dibandingkan dengan TAP-TAP MPRS XXV / 1966 lainnya, perlu dilakukan penguatan diri agar ideologi Pancasila tidak lagi merupakan kudeta komunis. Hidayat menambahkan, agar sejalan dengan Pancasila yang akhirnya disahkan pada 18 Agustus 1945, TriSila dan Ekasila harus dicabut dari UU HIP. “Tapi kritik dan saran FPKS kebanyakan diabaikan oleh fraksi. Oleh karena itu wajar jika FPKS secara resmi memutuskan tidak ikut rapat paripurna DPR untuk menandatangani RUU HIP,” tambah Hidayat.
Nyatanya, kata Hidayat, bukan hanya PKS yang menolak UU HIP. . Dan Partai Demokrat menolak RUU yang diajukan oleh PDI-P. Pada saat yang sama, PPP dan PAN juga mengusulkan untuk memasukkan MPRS TAP dalam UU HIP. Hidayat mengulangi.
Menurut Hidayat, setelah demonstrasi besar-besaran oleh Liga Anti-Persekutuan Nasional (NKAK) di depan gedung DPRRI, posisi politik saat ini adalah semua fraksi di Republik Demokratik Rakyat Korea setuju untuk mengizinkan TAP MPRS XXV / 1966 mempertimbangkan pertimbangan Bill HIP dan menghapus Trisila dan Ekasila dari Bill HIP.

“Meski masih berupa pernyataan verbal / ungkapan verbal, bagi sebagian besar fraksi, ini belum keputusan formal,” ujarnya.
So, what do you think ?